{#_*} ,,AYAH,, {*_#}

14.38.00 Edit This 0 Comments »
Ayah,,,
Kenapa engkau pergi di saat umurku masih kecil,,,
Apakah engkau tidak mengerti betapa terpuruknya aku saat ini ,,
Apakah engkau tidak mengerti aku ingin bahagia bersamamu,,,
Apakah engkau tidak mengerti akan perasaanku saat ini,,,
Apakah engkau tidak mengerti akan kerinduanku saat ini,,,
Apakah engkau tidak mengerti betapa sakitnya ketika aku tau engkau pergi meninggalkan aku,,,
Apakah engkau tidak mengerti aku tak ingin kita berpisah,,,aku tak ingin jauh darimu,,,aku tak ingin menjalani hidup ini tanpa hadirnya dirimu di sampingku,,,
Ayah,,,
Sungguh bagiku hidup ini terasa berat untuk di jalani,,,
Sungguh bagiku hati ini sulit untuk menerima semua kenyataan ini,,,
Ayah,,,
Harusnya engkau mengerti dengan semua ini,,,
Harusnya engkau mengerti betapa kesepiannya ibu tanpa hadirmu,,,
Harusnya engkau mengerti betapa berat beban ibu untuk mengasuhku dari kecil sampai sekarang,,,
Harusnya engkau juga mengerti betapa tegarnya ibu saat kau putuskan harapannya,,,
Ayah,,,
Aku selalu iri melihat orang lain mempunyai kelauarga yang utuh,,,
Aku selalu malu ketika ditanya orang lain tentang keberadaanmu saat ini,,,
Aku selalu sakit ketika rindu ini selalu menghantu,,,
Apakah engkau tak sadar tentang kehidupan yg kami jalani,,,

Puisi ini bersumber dari : http://www.gudangpuisi.com/2011/04/_-ayah-_.html#ixzz1aK5a9VgP
Blogger yang beretika selalu menampilkan sumbernya.

Ketika Dia Pergi

14.34.00 Edit This 0 Comments »
Ada luka di hati
Ada kerinduan yang terus menari
ada apa dengan diriku
ada apa dengan rasa ini
senyuman manis dari sebuah wajah
Antarkan aku pada memori jingga
Inginku berlari
Mengejar bayangmu yang kian menjauh
Resah ini
Lambungkan anganku tentang dirimu
Andai sang waktu dapat kembali
Tak sedetikpun aku ingin meninggalkanmu
Ketika Dia pergi…
Hati ini tersayat perih
hari-hari menjadi hampah
Gelisa membayangi setiap relung jiwa
Dan…
Ketika Dia pergi
  • Baru kusadari
Cinta bukanlah pilihan
Cinta bukanlah sebuah pelarian….

Puisi ini bersumber dari : http://www.gudangpuisi.com/2011/10/ketika-dia-pergi.html#ixzz1aK473K5g
Blogger yang beretika selalu menampilkan sumbernya.

Kepada Seorang Ayah yang berbahagia,

14.31.00 Edit This 0 Comments »

wpe1.jpg (5799 bytes)
Kubayangkan butir air mata memenuhi pelupuk matamu
saat kau membacakan baris-baris kasih sayang
kepada buah hatimu
Kusapa, ada beberapa butir air mata menggantung di sukmaku
hendak menyeruak ke dunia menemani keharuanmu Tak ada yang dapat kuucapkan hari ini
seperti hari kemarin, aku hanya bisa membisu
coba kutulis beberapa kata ungkapan kehormatan
kepadamu yang kini duduk menyaksikan ilham Allah
merasuki tulang-tulang tuamu.

Adakah aku akan melihat orang tuaku
sebahagia lantunan nyanyian hatimu
yang hendak menempuh tahap tertinggi kodrat manusia?
aku merenung menggores bayangan butiran air matamu
yang terdorong keluar oleh kebahagiaan
aku berusaha menutupi jalan untuk air mataku
yang tak sanggup menahan keharuan
menuntut jalan keluar,
mungkin hendak berteman dengan air matamu

Tanpa Judul

14.18.00 Edit This 0 Comments »
Maaf saya tidak dapat menemukan judul yang tepat
untuk untaian kalimat yang hendak saya tulis
   hari-hariku dipenuhi oleh suara-suara tak bergetar seperti kemarin ....
getaran itu semakin lama semakin sayup... perlahan
getaran itu melemah dan berhenti
seperti denyut nadi anak-anak ingusan
tak terdengar mereka oleh gesekan angin

Jika demokrasi adalah judul terindah bagi suatu bangsa
maka bangsaku hendak menggunakannya pula
mereka mengorbankan jiwa dengan sukarela atau dengan pesan
mereka sama-sama berdarah dan bahkan hilang oleh dahaga tanah
aliran sari-sari makanan kebebasan tak pernah sampai
tersebar ke seluruh tubuh
berhenti mereka di antara lembaran-lembaran kertas berstempel

Maaf jika hidupku adalah demokrasi
nampaknya ia tak punya judul lagi
kadang saya merasa sangat berharga dan ingin hidup
seperti jiwa Chairil Anwar
namun kadang saya menemukan ketidakbernilaian
yang mendorongku untuk mengakhiri hidup
the object of my affection telah mati
bersama judul tulisan-tulisan tentang demokrasi yang semakin kabur

Kepada Jaranireng: Aku dan Tulisanku

14.17.00 Edit This 0 Comments »



Adakah orang akan bertanya akan aku ketika aku
tak pernah menulis satu kata?
Adakah orang akan mencari namaku ketika aku
tak pernah meninggalkan kesan?
tulisanku adalah diriku, diriku mustahil adalah tulisanku
jari-jariku bekerja dengan otakku

tapi tidak dengan diriku
wpe2.jpg (7064 bytes) diriku adalah kumpulan prilaku potensi dosa
diriku adalah susunan tulang daging darah
yang mungkin telah menyerap barang haram
diriku bukan milikku, lingkunganku telah mengklaimnya
Adakah orang pernah menerima aku berbeda dengan tulisanku?
Berjayalah kalimat-kalimat yang kutulis
sebab mereka mendapat teman dan musuh yang menghormati
ingin aku memasukkan diriku ke dalam tulisanku
harap aku bisa mendapat sapaan hormat yang sama
Tulisanku adalah produksi otakku yang bersahaja
tak dapat bercengkrama dengan prilakuku yang
diproduksi oleh niatku yang subjektif
tulisanku memberi tahu tentang aku ke dunia
sementara aku tak pernah berbuat yang sama
kepada tulisanku....

Kepergianmu

14.02.00 Edit This 0 Comments »
wpeAC.jpg (7186 bytes)

Air matamu mengiris hatiku halus
kuusapkan telapak tanganku ke wajahmu yang pucat
terlihat ketakutan kehilangan akan nafasmu
nafasmu yang mengalir dalam nafasku

Kubelai rambutmu dengan kelembutan angin malam
terasa getaran menyatu diujung jari-jari
tak kuasa menahan gejolak kasih
limpahan nuansa kejora malam yang tak bertepi

Tak akan kutinggalkan hatimu yang manangis pilu
telah terpatri janji pada kedalaman nurani
akan ikut menyatu kegalauan kasih dalam derita
meski kekuatan malam hendak meragas

Apakah yang Kita Harapkan dari Hujan?

07.53.00 Edit This 0 Comments »

SAYA melihatnya dari jauh saja. Saya sama sekali tak berani mendekatinya. Baju saya basah. Di luar hujan lebat dengan suaranya gemuruh. Saya tak bisa menghindari tempias. Saya memperhatikan mata tua di balik kacamatanya. Siapa tahu dia melihat ke mataku. Siapa tahu dari tatapan matanya ke mataku, saya mendapat keberanian untuk mendekatinya. Hari mulai senja. Masih hujan juga. Hujan yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung. Hujan yang tadi bersama saya sempat berdiri di samping tiang listrik.

Tapi, dia terlalu sibuk melayani orang-orang yang meminta tanda tangannya. Orang-orang menyodorkan buku puisinya untuk ditandatangani olehnya. Dia penyair besar. Peminat karya-karyanya datang dari banyak kalangan. Dia juga seorang profesor sastra. Saya sebenarnya ingin sekali menyapanya, berbicara padanya, dan meminta sesuatu padanya.

            
 Tetapi, ya, sampai orang-orang tak lagi mengerubunginya, dan dia keluar menembus hujan, masuk di mobilnya, saya masih tidak punya keberanian untuk melakukan apa yang tadi sebenarnya ingin sekali saya lakukan. Saya tidak berani menyapanya. Saya tidak berani bicara padanya. Apalagi meminta sesuatu padanya, sebuah permintaan yang sudah lama saya persiapkan. Di dalam mobil yang segera berlalu saya melihat ia seperti di dalam akuarium. Kaca mobilnya basah. Saya seperti mendengar ia menggumamkan. “Aku adalah air,” teriakmu, “adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah….”


Ruang seminar itu pun sepi. Tinggal beberapa orang panitia membereskan kursi, melepas spanduk yang tadi melatari meja pemakalah. Di meja itulah tadi dia duduk menyampaikan makalah. Saya bukan peserta seminar. Saya hanya menunggu di luar ruangan. Menyiasati hujan. Ini bukan seminar gratisan. Saya tak sanggup bayar. Ketika seminar selesai saya baru masuk ke ruangan dan ah saya tak berani juga mendekatinya. Seperti ada yang menyuruh saya berhenti. Sampai dia pergi. Saya seperti kena teluh oleh bait-bait sajaknya. Ketika berhenti di sini ia mengerti, ada yang telah musnah. Beberapa patah kata yang segera dijemput angin begitu diucapkan dan tak sampai ke siapa pun.

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

Saya pulang. Hari masih hujan. Hujan turun sepanjang jalan. Hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan kembali berama sunyi. Kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali.

Di kedai saya beli koran dan pisau. Saya tak tahu kenapa saya beli koran dan pisau. Koran sore. Ada berita apa hari ini, koran sore? Saya meskipun jarang juga, biasanya beli koran pagi. Maka, koran sore itu pun saya pakai saja untuk membungkus pisau. Saya masih menyesali kenapa tadi tak juga saya berani menyapanya dan menyampaikan permintaan yang sudah lama saya ingin ajukan padanya. Saya terus berjalan-setengah-bermimpi menembus udara yang semakin tebal asapnya. Sampai di rumah,saya merasa kantuk memberat di kepala. Mengantungi mata. Suara tik tok jam menyaingi gemuruh hujan. Saya ingin sekali bisa menginderai kembali sampai akhirnya: terpisah dari hujan. Tapi, ah, sepertinya hujan akan lama dan saya semakin menyesali kenapa tadi seteleh seminarmu saya tak juga berani mendekatinya dan mengajukan permintaan yang sudah lama saya simpan.
           
Apakah yang kita harapkan dari hujan?

Saya seperti tinggal bertiga kini bersama pisau dan koran. Saya tidak tahu kenapa tadi membeli koran. Saya tidak tahu kenapa tadi saya tiba-tiba juga ingin membeli sebilah pisau. Mata pisau itu seperti tak berkejap menatapku. Ia berkilat seperti membayangkan urat leher saya. Saya membuka map yang tadi saya persiapkan untuk disodorkan padanya. Map berisi puisi-puisi saya. Saya tadinya ingin meminta dia untuk membaca dan membuat kata pengantar untuk puisi-puisi saya itu. Dengan kata pengantarnya mungkin akan ada penerbit yang mau menerbitkan puisi-puisi saya. Tapi, saya ternyata tidak juga punya keberanian. Saya semakin merasa kantuk saya makin hebat. Saya ingin tidur, tetapi puisi-puisi saya mengajak saya berbincang. Begitulah, kami bercakap sepanjang malam: berdialog pada suku kata yang gosok-menggosok dan membara. “Jangan diam, nanti hujan yang mengepung kita dengan kain putih panjang lalu mengunci kita di kamar ini!”

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

Saya akhirnya tertidur juga. Darahku berkesiap. Darahku bersikeras bermimpi tentang denyut-denyut air yang membual dari rahim bumi.  Darahku terkesiap oleh mimpi tentang darah yang menggenang di jalanan dicairkan dan didinginkan oleh hujan. Itu darahku. Sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang seorang lelaki penggemar berat seorang penyair yang terlanggar mobil yang membawa si penyair besar waktu menyeberangi hujan dan menembus jalan. Pesuruh kantor itu kemudian bercerita kepada penjaga kedai tentang seorang lelaki penggemar  penyair besar yang terlanggar mobil yang membawa si penyair besar waktu menyeberangi hujan dan menembus jalan membentur aspal lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan. Penjaga kedai itu bercerita kepadaku tentang seorang  penggemar penyair besar yang dilanggar mobil yang membawa si penyair besar waktu menyeberangi hujan dan menembus jalan, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit. Dan aku ingin sekali bercerita padamu tentang peristwa itu.

Apakah yang kita harapkan dari hujan?

Pagi hari saya terbangun. Darahku tak lagi berkesiap meskipun masih hangat jejak mimpi semalam dalam kepalaku. Saya seperti mencium bau yang mengingatkanku akan sesuatu yang kini sudah bukan milikku lagi saat saya membuka jendela. Koran sore di meja masih terhampar di koran bersama pisau. Saya menduga ada berita kecelakaan mobil di koran sore itu. Tapi, ah berita itu tentu sudah sangat basi kalau saya baca pagi ini. Cahaya matahari meloncat ke dalam dan tampak olehku seperti ada yang satu demi satu bangkit dari lantai. Menjelma semacam gas. Namun masih kaudengar engahnya mendaki berkas-berkas sinar matahari. Saya merasa tidak memerlukan kata pengantarnya lagi untuk sajak-sajak saya yang entah kapan akan saya bukukan. Saya berharap sore nanti akan hujan lagi, tapi…..

Secarik surat

07.47.00 Edit This 0 Comments »
ia memimpikan dirinya menjadi layangan,
tanpa tali mendaki ke langit tinggi
sedangkan tangan angin ribut berebut
menggapai seutas benang di tubuhnya
hanya agar bisa (seakan-akan) terbang

ia memimpikan dirinya menjadi layangan,
menjangkau tinggi ke puncak ingatan
melampaui duka segala lupa walau terluka
sampai nanti terjatuh jauh entah di mana
tiba kepadamu yang hendak memeluknya

berulang-ulang

Read more: sketsa puisi
Under Creative Commons License: Attribution

bunga

07.47.00 Edit This 0 Comments »
gerimis masih menyala
ketika engkau pejamkan
kelopak-kelopak payung

kita pun tidak terlihat
(tatkala yang ditunggu
menguncup dalam rahasia)

dan dengan telunjuk
memetik detik demi detik
seakan kekal

Read more: sketsa puisi
Under Creative Commons License: Attribution

Loss Journey

07.45.00 Edit This 0 Comments »

malam memusim kembali ketika
kita rindukan perjalanan kecil
menempuh ragu yang jauh

bus terus melaju sedangkan angin
mematah gerimis dari dahan hujan
yang suaranya mencerna keheningan

jendela bagai saja bingkai kristal
untuk mengekalkan beribu kenangan
agar tidak rusak dan terlupakan

indah purnama yang hinggap di langit
yang engkau kira pernah jadi kepompong
dan diam menunggu sampai bersayapkan

bintang-bintang. Musim masih panjang


Read more: sketsa puisi
Under Creative Commons License: Attribution

Empty room

07.44.00 Edit This 0 Comments »
ini penantian dalam ruang kosong dan
aku duduk seperti di sebuah busstop
ketika bus-bus berlalu dengan nomor
yang salah: cuma angka-angka belaka
seperti waktu sedang menelepon lalu
seorang bilang: salah sambung, bung!
aku yakin kau belum pernah mengganti
nomor apalagi mengubah nama, bukan?
suatu kali supir bus pernah bertanya
tentang nama dan saat kujawab
ia bilang aku hanya boleh menyebutkan
jalan (bukan nama siapa pun juga)
kucari saja peta untuk menemukan
nama dan nomor biar jalan ini dapat
benar menujumu di mana setiap langkah
terkumpul; di saat setiap hati padu
ini penantian dalam ruang kosong dan
kalau engkau ketuk pintu itu aku akan
bangkit seperti ketika bus telah tiba,
sebuah perjalanan yang menjemput kita

Read more: sketsa puisi
Under Creative Commons License: Attribution

Kesibukan

07.44.00 Edit This 0 Comments »
sibuk terus menumpuk di buku agenda
dan rencana bagai suara kecil yang
meringkuk di dalam jam. Hati kecilnya
hendak menjerit kalau waktunya tiba
ia akan terkejut mendengarnya.
Dilirik jam menunjuk pukul 00:00
(jarum jam membentuk jarak hampa
yang tak usai kita membaginya)
mata begitu sederhana: membungkam
beribu kantuk di pelupuk ketika
ia menuliskan sebuah nama dan
menggambarkan hati, merah warnanya
mata sudah payah, menguncup tatkala
tanpa sempat mengartikan apapun
sebelum malam sempat mengecupnya
dan berkata: besok ya, kau janji


Read more: sketsa puisi
Under Creative Commons License: Attribution

Influensa

07.43.00 Edit This 0 Comments »
aku tidak tahu mengapa engkau menyukai musim hujan
tetapi kalau gerimis turun, rindu seperti influensa
mudah merasuk dan membuatmu banyak tinggal di kamar
mendengarkan lagu-lagu sendu sambil sedikit bersin
influensa, virus kecil yang membuat jantungmu berdebar
dan juga menemanimu semalaman menulis puisi tentang
rasa sakit dan harapan (mirip obat tablet yang mahal,
sering terlupakan atau entah engkau takut meminumnya)
seringkali ketika tubuhmu menggigil dan tanpa daya
influensa ingin sekali membelah dirinya beribu kali
supaya dia mampu memelukmu, menjagamu tetap hangat
dan tidak usah peduli kalau hujan tiba-tiba cemburu
suatu hari nanti musim kesukaanmu akan berakhir,
hujan pasti merasa sangat kehilangan tetapi influensa
mengkristal di dalam tubuh dan membuatmu tidak tahu
mengapa sejak malam itu engkau merasa sangat dicintai

Read more: sketsa puisi
Under Creative Commons License: Attribution

Saat Menutup Peti

07.43.00 Edit This 0 Comments »
masihkah ada yang engkau nantikan
ketika bisu memecah di ruang kosong
(mungkin ia bagaikan kehabisan suara
menceritakan yang belum sempat terucap)

betapa puncak rindu pada setiap pucuk
terangkum kembali dalam karangan bunga,
diletakkan di dadanya dan engkau ingat
ketika menyatakan cinta itu: katanya abadi

apa lagi yang akan engkau sampaikan
ketika kata tiada lagi dapat menggapainya
sedangkan ia di sana: kekal mendengarmu
menangis dekat telinganya yang membeku


Read more: sketsa puisi
Under Creative Commons License: Attribution

siburuk rupa

07.41.00 Edit This 0 Comments »
Kau si-buruk-rupaku, buah berangan yang berantakan
Kau si-manis-parasku, semanis buai angin kelembutan
Kau si-buruk-rupaku, mungkin harusnya dua mulutmu
Kau si-manis-parasku, kecupmu segar seiris semangka

Kau si-buruk-rupaku, dimana sembunyi payudaramu?
hanya segunduk mungil dua mangkok gandum.
Aku ingin melihat terang dua bulan di dada:
Tegar tegak menara raksasa tanda kedaulatanmu.

Kau si-buruk-rupaku, tak ada cakar laut di kedaimu
Kau si-manis-parasku, bunga ke bunga, bintang ke bintang,
gelombang ke gelombang, Kasih, aku katakan pada tubuhmu:

Kau si-buruk-rupaku, Cinta karena emas pinggangmu,
Kau si-manis-parasku, Cinta karena kerut dahimu.
Kasih, aku cinta kau karena terang, dan gelapmu.

kumpulan puisi

04.06.00 Edit This 0 Comments »

Salam perpisahan
Kini, hatiku tergores kesedihan
Ketika terucap salam perpisahan
Walau air mataku tak berlinang
Bukan berarti suatu kerelaan
Saat-saat langkah terayun
Jarak kita-pun semakin membentang
Akankah semuanya jadi terkenang
Atau hanyut terbawa gelombang
Bahkan mungkin terkubur oleh waktu dan keadaan

Sobat, dalam hatiku ini
Akan tetap membekas suatu kenangan
Kau sungguh baik, supel dan komunikatif
Siapapun mengenalmu pasti akan merindu
Namun untukku, janganlah kau biarkan
Aku terkulai lemas dalam kehampaan
Karena rasa kangenku yang tidak kau harapkan
Gelisah
Gelap malam penuh kesunyian
Lamunan jauh menerawang angkasa
Membukakan pintu-pintu mimpi
Menyibakan tirai-tirai kegalauan jiwa

Bias keremangan memudarkan kasih
Memutar hati menguak arti ilusi
Memedarkan beribu warni cahaya
Membayang menjauh dari arah cita

Katak merengek ikut meresah
Menggugah hati kala gelisah
Air hujan menetes berduka
Membasah bumi ikut bersedih

Gema kegundahan kian bertalu
Gemercik air melantun irama nan merdu
Berhembus angin membelai lembut
Gemerisik suara daun menghibur
Membangkit menggugah kalbu

Meliuk menari rumput nan ayu
Melambai perlahan seolah mengajak
Melepas duka menjemput cinta
Merayu bernyanyi kerinduan
Menyongsong esok akan kebahagiaan

Di Sisi Malam
Ketika kabut tersibak
Rembulan memancarkan sinarnya
Malam yang muram telah berlalu
Makna kegelapan menjadi tertampikan
Nur kebenaran adalah kebenderangan

Saat kepala makin merunduk
Kucium tanah bukti kehinaanku
Sebagai tanda Agungnya sang Khalik

Isak tangisan begitu lirih
Seirama kidung detak jantung
Air mata berderai tak tertahan
Mencapai kekhusukan semakin dalam

Saat dingin semakin menusuk
Disinilah aku semakin mengenal Tuhan

Aku Tak Ragu
Tuhan,
Aku yakin dengan segala kasih-Mu
Dan aku percaya akan semua sayang-Mu
Namun mengapa aku ini ???
Selalu tak tahu diri
Apakah ada sesuatu yang mengunci hatiku ?!
Sehingga aku lupa akan semua cinta-Mu
Tuhan,
Kau pasti selalu mendekapku
Namun aku tempikkan arti kehangatan-Mu
Apakah aku insan tak tahu balas budi ?!
Kurang bersyukur
Selalu mencari dan berharap yang lebih
Bahkan tanpa terasa dan tak tersadari
Mungkin aku memohon selain kepada-Mu
Tuhan,
Andaikan aku selalu bersujud pada-Mu
Dan bersimpuh di dalam rumah-Mu
Tentu Engkau mau menerima tobatku
Namun aku kadang merasa lain
Karena banyak dosa yang kulakukan

Tuhan,
Aku tahu tangisku tak berarti bagi-Mu !!
Kini biarlah aku merenungi semuanya
Dan akan kucari pintu insyafku
Tapi, aku yakin dan tak meragukan
Akan semua ampunan-Mu, Tuhan.

Keagungan Tuhan

Merah merona bola api di atas cakrawala
Tanda terbitnya sang surya di ufuk pagi
Suara burung bernyanyi riang bergerak kian kemari
Menggugurkan sejuta embun dari kerindangan daun
Semua itu bukti Agungnya ciptaan Tuhan

Sebagai manusia hendaklah bersyukur
Ketemu lagi akan hari
Setelah sesaat mengunci rasa
Melupakan semua problema
Kini ditantang perjalanan hidup
Membuktikankan semua impian dan harapan
Kalau kita sadar, nyata ataupun tidak
Itulah garis takdir Tuhan
Semuanya ini perjalanan waktu
Manusia hanya bercita
Namun begitu, yakinkan diri ini
Hidup ini jangan disia-siakan
Berbagi Kasih
Kulihat daun meliuk
Disaat kejora mulai menghilang
Pagi datang begitu cepat
Sayang sungguh sayang memang !!
Juita malam menjadi penantian

Indahnya pagi di pantai pengharapan
Merupakan suatu makna keceriaan
Saat ombak menuju ke tengah
Pasti ia akan kembali lagi
Membawa buih putih arti kehidupan
Meratakan hamparan pasir yang berserakan

Di tengah laut dari kejauhan
Perahu kecil terihat menepi
Membawa seribu ikan hasil tangkapan
Dengan senyum kebahgiaan nelayan

Ketika terkatung di tengah samudra
Tidaklah sempat berfikir tentang cinta
Semuanya seakan sirna
Kini saatnya berbagi kasih
Dengan permata hati
Yang slalu menanti

Malang
Saat sosok itu terlentang
Terkulai di kamar yang remang
Tanpa busana
Tak kenal budaya
Aku hanya mendengar
Gertakan kuat
‘ingat aku adalah uang’

Perjalanan
Wanita malam jadi kenangan
Dalam suatu perjalanan
Bola matanya indah menggoda
Memberi rayuan tentang kemesraan

Sungguh murah kau tawarkan
Ternyata cukup uang recehan
Cuma sekedar untuk membeli jajanan

Pernah sesekali aku tanyakan
Mengapa tak kau tinggalkan hal demikian
Sebab itu kesia-siaan

Tak salah memang kau katakan
Kalau itu saling menguntungkan
Tetapi ada pihak yang dirugikan
Ibumu yang melahirkan

Wanita
Wanita punya hak juga memiliki kewajiban
Tetapi selalu disalahtafsirkan
Hingga kadang menyalahi aturan
Emansipasi diputarbalikkan
Sebagai dalih atau alasan

Hanya untuk mencari kepuasan
Kau korbankan kasih sayang
Anak-anak kau terlantarkan
Dan masih banyak yang dicampakkan

Lalu bagaimana akan nasib bangsamu
Saat keluarga tak kau hiraukan
Sungguh, slogan indah jadi kenagan
Wanita tiang negara
Kini menjadi puntung yang berserakkan
Syair metafisik
(Merambah kegaiban dunia lain)

Alam ini seolah tidak nyata
Seakan-akan dunia bayangan
Tetapi dunia ini punya dimensi
Dimensi lain yang imateri
Hanya rasa iman yang bisa menggapainya
Entahlah, memang alam ini serba aneh
Pengamanannya sungguh ekslusive
Penjagaan yang ekstra ketat
Dengan benteng yang begitu kokoh
Seakan beruratkan besi bertulangkan baja
Begitu susah menembus dunia ini
Hanya dengan akses yang tepat
Dan prasarat pasport yang lengkap
Barulah bisa memasukinya dengan aman
Ketika ada yang mencoba memaksa
Hanya mengakibatkan luka-luka
Seandainya memang bisa
Hanya mengakibatkan sengsara
Merantau di dunia metafisik
Tanpa arah dan tujuan yang pasti
Kehancuran buat si pemaksa
Siksa menjelma menggerogoti hidupnya
Hanya Tuhan-lah yang dapat menyembuhkannya
Andai kesabaran menghinggapi kehidupannya


Kata iya
Mengangguk kata setuju
Tapi bukan berarti iya
Mengapa sahabat tak bertanya ?!
Hanya bergeleng kepala

Kalau sahabat tak paham
Uneg-uneg jangan disimpan
Ungkapkan semua perasaan
Hak berpendapat dijamin undang-undang
Sudah jelas di pasal dua delapan

Diam bukanlah emas
Emas ada di busang
Katanya sedang diributkan
Siapa yang bakal jadi jutawan
Mungkin mereka yang menambang
Sahabat juga mungkin nanti kecipratan
He…. he….
Jangan terlalu banyak termangu
Sebentar lagi khan pemilu
Jangan sampai terpancing isyu
Sekarang khan musim dikompor-komporin
Apa lagi sambil dikipas-kipasin
Bisa-bisa kebakaran nanti

Dengarlah kami
Saat-saat kaki terlangkahkan
Sejenak hati berfikir tentang keadilan
Ketika bangsa dilanda bencana
Ketika rakyat kecil dirundung duka
Ketika semua orang berharap tanya
Mana yang benar dan mana yang salah ?!
Banyak sosok muncul seolah pakar
Berteriak-teriak seakan benar
Seharusnya begini dan seharusnya begitu !!
Ternyata semua hanya teori membingungkan
Di sudut-sudut kota dan pelosok negeri
Rakyat jelata menggeliat kelaparan
Anak-anak mulai putus harapan
Akan kemana kami mencari
Napas kebebsan yang semakin sesak
Angin kehidupan yang mulai hilang
Sungguh tragis dan ironis
Rupiah terpuruk dalam kekhawatiran
Si awam hanya bertanya
Dosa siapakah ini ?!
Kok kami yang mendapat siksa
Kami tidak perlu banyak partai
Kami perlu banyak beras
Kami perlu banyak susu
Kami perlu makan
Dan kami perlu keadilan

 

Seminggu Di Ladang Tua

Sekian lama aku tak jumpa
Bayangan kerinduan kian terasa
Tak tahan ingin mendengar cerita
Seperti beberapa waktu yang lalu
Ketika kau berkisah di ladang tua

Hari pertama
Kau terdiam tak dapat bicara
Hanya mencucurkan air mata
Saat kucoba menghapusnya
Kau tepiskan tanganku
Waktu itu aku bertanya
Mengapa ???
Namun kau tak kuasa menjawabnya
Tapi aku tahu kau tidak merahasiakannya

Hari kedua
Kau baru menjawabnya
Kau merasa khawatir tentang adikmu
Yang hidup dirantau orang
Kau takut dia tergoda
Oleh bias remang cahaya kota
Namun kau tak kuasa meneruskan cerita
Kau cucurkan lagi air mata

Hari ketiga
Kau melanjutkan ceritanya
Bagiku makan tidak masalah
Hidup di desa tak akan kelaparan
Namun di kota adikku mau makan apa
Justru aku takut adikku dimakan orang
Katanya di kota saat sekarang
Tidak berfikir lagi besok makan apa
Tetapi besok saya mau makan siapa
Kau menangis lagi
Membuang air mata tanda berduka

Hari keempat
Ini tak akan ku lupa
Saat kau merayuku agar menanggapi
Semua cerita tiga hari yang lalu
Aku tak mau untuk bicara
Akhirnya kau meneruskan cerita
Tentang adiknya yang sangat dia cintai
Sampai kini tak kunjung pulang
Kau berharap agar adikmu cepat kembali
Hari kelima
Kau bercerita tentang metropolitan
Yang penuh dengan aktivitas kejahatan
Sikut kiri sikut kanan itu kebiasaan
Apakah adikku selamat dari todongan
Kesombongan dan kekerasan zaman
Kau menangis lagi
Dan tak kuasa cerita lagi

Hari keenam
Aku masih teringat
Saat kau bertutur tentang ibumu
Ketika dia mulai tua renta
Bahkan sampai akhir hayatnya
Kau katakan ibumu adalah keabadian kasih
Tak pandang pamrih
Ikhlas dalam menjaga anak-anaknya
Inikah arti surga di bawah telapak kaki ibu
Kau malah merenung sampai tak cerita apapun lgi

Hari ketujuh
Ini hari terakhir kau bercerita padaku
Karena aku akan ke rantau
Mencari pengalaman ke kota orang
Kau berharp agar aku dapat bertemu dengan adiknya
Dan menyampaikan salam kekangenannya
Sekarang kau akan mencoba untuk melupakannya
Karena adikmu tak memberi kabar berita
Kau ucapkan selamat jalan padaku
Inilah kisah seminggu di ladang tua
Namun sampai kini ku takkan lupa
Dan sekarang akan kucoba mencari adiknya
Untuk membantu temanku disana
Yang selalu berduka tentang adiknya
Berdoalah temanku agar aku menemukannya
Amiin

Diaolog rasio dan hati

(Tentang ungkapan perasaan hati)

Rasio berkata “ kenapa kau laukan itu hati?”
“entahlah, hanya itu yang ingin aku katakan” jawab hati.
“apakah aku terlalu ….Egois, emosi atau agresif”,
Lanjut hati.
“sudahlah, mungkin aku yang salah ?,
Aku tidak bisa memantaumu”, lanjut rasio.
“tidak rasio, aku terlalu memaksakan,
Seolah aku tak sadar dengan keadaanku.
Mungkin aku benar-benar lupa dan lalai,
Dan kau menganggapku konyol khan ?”
Kata hati panjang lebar.
“biarlah rasio, apa yang telah aku katakan
Aku yang akan menanggung akibatnya
Aku telah coba melakukan yag terbaik untukku
Walau harus menghancurkan diriku
Asal aku tidak melukakan orang lain
Aku akan tetap berbahagia.
Kau telah mengingatkanku rasio, terima kasih”
Hati menambahkan ungkapannya.
“hati, biarlah semuanya berjalan dengan relita
Mungkin kita harus bersikap sedikit bijak
Tidak usah terlalu berharap”Rasio menambahkan.
“aku setuju rasio” sahut hati.
Lalu keduanya terdiam seolah tidak ada pembicaraan lagi.
Dan begitulah sampai keduanya terlelap dalam tidur karena kelelahan.


From my friend
………..

Sobatku, di tengah malam
Yang sepi …..
Aku termenung sendiri
Dan dalam kesendirian ini
Aku tak tahu apa …..
Rasa rindu selalu ada
Tapi akupun tak tahu
Apa yang aku rindukan …..
Sobat, siramilah diriku
Dengan kasih dan cintamu…..
Agar aku tahu apa arti
Kesendirian dan rinduku ini
From : Ririe

Betapa
Tuhan …
Betapa dingin dekapan-mu
Sejak aku tak pernah lagi ke rumah-mu
Betapa kabur penglihatanku
Sejak cahaya-mu semakin redup
Pada setiap sudut pengembaraanku
Betapa sunyi pendengaranku
Sejak aku tak perduli
Suara orang-orang memanggil-mu
Tuhan
Betapa seluruh tubuhku luluh
Sebab matahari mengantarai jarak kita semakin jauh
Tuhan
Betapa aku tak mampu
Luput dari dekapan-mu
Sebab kini kumengerti
Dirumah-mu aku adalah tamu
from Dian H.

Yang tersayang

Kau bangun
Kugendong
Kutimang

Kau bermain
Kuasuh
Kutemani

Kau menangis
Kuhibur
Kucanda

Kau mengantuk
Kudendangkan
kukisahkan

Kau tidur
kubelai
kucium
Kudekap

Kau pergi
Kutersedu
Kucari
kurindu

Kau ….
From Dian


Tujuh Paragraf Saja

Paragraf pertama
Saat hujan semakin deras
kusuri jalan selangkah demi selangkah
Kuraba bajuku yang sudah kuyup
serasa dingin udara menusuk
sebentar kutoleh kebelakang
Begitu dalam arti perjalanan
percikan air adalah terpaan
Halilintar pemanis makna
Saat reda adalah harapan jiwa
menjadikan terang nur kehidupan

Paragraf kedua
Kala membayang terang rembulan
merenung menjadi makana harapan
waktu kecil adalah kedamaian
saat remaja masa pematangan jiwa
kini kutatap cermin kedewasaan
kukerutkan keningku
seraya aku berkata pada bayanganku
belajarlah dari perjalanan hidupmu
raihlah cita-citamu diatas bintang persia
dan jadilah dirimu dalam sebuah jati diri